Saturday, October 25, 2008

Menemukan Kembali Bali Di Dalam Diri


SETIAP kali terbang ke Bali, sebuah pemandangan yang sulit dihindari di pesawat adalah banyaknya penumpang dengan rambut berwarna coklat. Kerap terjadi, penumpang dengan rambut coklat lebih banyak dibandingkan dengan yang berwarna hitam. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah datang ke Bali berkali-kali. Didorong rasa ingin tahu, ada yang bertanya kepada salah seorang wisatawan yang datang berulang-ulang. Dan, jawabannya agak mengejutkan, setiap kali dia datang ke Bali, seperti selalu menemukan the hidden treasures of Bali. Bagian-bagian kekayaan Bali yang tersembunyi, itulah yang kerap ditemukan wisatawan ini setiap kali datang dan datang lagi.
Dipancing oleh komentar seperti ini, kalau orang luar yang datang ke Bali, dan setiap kali datang menemukan bagian-bagian lain dari Bali yang tersembunyi, adakah kita yang lahir di Bali melihat Bali setiap hari, kemudian juga menemukan sisi-sisi lain kekayaan Bali yang tersembunyi? Ada seorang sahabat yang menemukan pengandaian berguna dalam hal ini. Mendalami kehidupan (baca: menyelami Bali) mirip dengan mengupas bawang merah. Semakin dikupas, makin putih warnanya. Tambah dikupas lebih putih lagi. Setelah dikupas semua, tidak ada yang tersisa terkecuali air mata yang meleleh. Pertanyaannya kemudian, banyakkah di antara orang Bali yang ''mengupas'' Bali, menemukan wajahnya yang semakin putih dari hari ke hari, dan pada akhirnya meneteskan air mata?

Ah, maafkanlah! Terutama karena belum apa-apa, tulisan ini sudah mengajukan sejumlah pertanyaan. Atau, mungkin tugas dan wewenang seorang manusia hanya boleh bertanya. Dan jawaban, di samping mudah tergelincir ke dalam kesombongan, kecongkakan dan malah perdebatan serta permusuhan, mudah sekali membuat perjalanan berhenti dihadang tembok besar dan kokoh. Disinari cahaya-cahaya kejernihan seperti ini, izinkanlah tulisan ini lewat sebentar. Bukan untuk memberi jawaban, tetapi lebih sebagai tumpukan arsitektur pertanyaan. Dengan sebuah doa, mudah-mudahan berguna dalam membuka the hidden treasures of Bali.

Pulau Persembahan

Dalam sebuah perjalanan, ketika sang hidup sudah mulai menunjukkan tanda-tanda makna, ada seorang sahabat pendeta Buddha yang bergumam kecil: ''Bali dalam bahasa Pali (bahasa teks asli agama Buddha) artinya persembahan''. Ada yang kaget di dalam sini. Terutama karena tidak ditanya, sahabat pendeta ini bertutur terus tanpa bisa dihentikan.

Lebih-lebih bila ini dikaitkan dengan salah satu pertanyaan gelap sejarah Bali: di mana letak kekuatan pembelokan dari sejarah Bali awal yang penuh dengan kekerasan, kemudian bergerak drastis menjadi Bali dengan perilaku santun, damai dan harmoni selama ratusan tahun kemudian? Kalau benar asumsi tentang sejarah sebagai sebuah kontinuitas, bukankah antara Bali awal yang ditandai kekerasan, dengan kesantunan hidup yang berumur ratusan tahun kemudian yang memproduksi harmoni, justru menunjukkan sebuah diskontinuitas? Bila diskontinuitas terjadi, apa peristiwa besar yang mendorong belokan diskontinuitas seperti ini?

Mungkin sahabat-sahabat yang mendalami lontar dan manuskrip tua Bali bisa membantu mengurai sebagian diskontinuitas ini. Karena sifat sejarah yang selalu memiliki wajah-wajah tersembunyi yang mudah dieksploitasi pikiran manusia, sejarah memang bukan gudang semua jawaban. Ia lebih menyerupai bahan-bahan yang memerlukan pengolahan lebih dalam kemudian. Merenung di atas kesadaran sejarah seperti inilah, maka layak dipikirkan bersama-sama sebuah pekerjaan rumah besar: apa peristiwa (atau kesadaran) besar yang membuat Bali berbelok dari kekerasan menuju harmoni?

Tanpa bermaksud memberi jawaban, siapa pun yang lahir dan besar di Bali matanya akan tertangkap oleh pemandangan keseharian yang tidak pernah mengenal henti: persembahan. Jangankan di tempat suci, di banyak sekali tempat yang lain orang Bali dari dulu sampai sekarang amat dan teramat rajin melakukan persembahan. Seorang sahabat pengusaha Bali yang kantornya penuh dengan canang sari setiap hari pernah bertutur, kalau dia mengalokasikan ratusan ribu rupiah per bulan hanya untuk tersedianya canang sari setiap hari. Ada peneliti Belanda yang pernah bertutur tentang Bali tahun 1920-an yang pernah dikunjunginya. Masih menurut peneliti ini, orang Bali ketika itu tidak mengenal istilah kesenian. Kesenian hanyalah sebuah judul yang datang dari luar. Lantas, kalau bukan kesenian, apa yang dilakukan orang-orang Bali ketika itu yang suka menari, menyanyi, mengukir, melukis dan sejenisnya? Dengan terkagum-kagum peneliti ini mendengar jawaban orang Bali ketika itu: tidak semua kami mengerti, namun satu hal jelas, semuanya dilakukan sebagai rangkaian persembahan.

Kesimpulan ini sekaligus mengingatkan kita semua tentang wilayah-wilayah persembahan. Canang sari tentu saja sebuah wujud persembahan, namun rupanya wilayah-wilayah persembahan jauh lebih lebar sekaligus lebih dalam dari sekadar canang sari.

Wilayah-wilayah Persembahan

Pemahaman dan pendalaman seseorang tentang sebuah wilayah, memang amat ditentukan oleh seberapa tekun serta seberapa sering yang bersangkutan datang memahami wilayah tersebut. Sebut saja seorang sahabat yang bertahun-tahun pekerjaannya hanya melihat dan mempelajari peta kota London. Tentu saja kedalaman pemahamannya berbeda dengan seseorang yang belum pernah melihat peta London, namun puluhan tahun sudah tinggal menetap di sana. Hal yang sama juga terjadi dalam wilayah-wilayah persembahan.

Dari umur yang amat kecil, kita di Bali sudah dibekali banyak ''peta'' tentang persembahan. Anak-anak bertanya tentang sesaji, tentang pura, tentang ngayah. Dan yang menjawab pun tidak sedikit: dari orangtua, keluarga dekat, guru-guru di sekolah sampai dengan media seperti koran dan televisi. Ada cerita tentang Jaya Prana dan Layon Sari yang sebagian hidupnya berisi persembahan. Ada kisah Mahabharata yang legendaris itu, yang juga berisi kisah persembahan. Dan, tentu saja masih ada lagi yang lain. Pendek kata, kehidupan Bali sejak dulu penuh dengan peta-peta tentang persembahan.

Mempelajari peta tentu saja baik dan berguna. Namun, hanya dengan memandanginya, manusia hanya memahami serangkaian wilayah secara amat terbatas. Berangkat, berjalan, lihat dan pahami, itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh setiap manusia yang mau memahami serangkaian wilayah. Hal yang sama juga terjadi dengan wilayah-wilayah persembahan. Hanya yang melakoninya penuh kedalaman sekaligus keheningan yang bisa tergetar di wilayah-wilayah persembahan.

Sebagaimana wilayah lain dalam kehidupan, wilayah-wilayah persembahan juga ditandai oleh sejumlah keluhan. Tidak sedikit sahabat yang mengeluh mahal. Bahkan, ada segelintir orang yang berpikir pindah agama karena mahalnya ongkos menjadi orang Bali. Teritori pengetahuan manusia memang penuh dengan hukum sebab akibat. Hukum ini juga yang bertanya: jadi orang Bali dulu kemudian menyebut persembahannya mahal, atau persembahannya kurang dulu baru jadi orang Bali terasa menderita?

Bagi pencinta logika, kata-kata dan perdebatan silakan temukan sendiri jawabannya. Silakan juga selami jalan-jalan yang Anda temukan. Namun, bagi pencinta keheningan dan kejernihan, jawabannya memang bukan syarat mutlak dari dimulainya perjalanan. Kerap terjadi, penekun keheningan dan kejernihan aman serta nyaman berjalan bahkan tatkala tidak tahu. Melakukan persembahan, itu dan hanya itu. Sering tidak bernama, tidak bersuara, tidak ada tangan manusia yang mencatat. Namun, toh itu dilakukan terus-menerus.

Ada memang yang memberi sebutan dan judul bodoh akan hal ini. Tidak tahu, tidak mengerti, tidak paham, itulah rangkaian judul yang lain. Ketika ditanya, kenapa persembahannya seperti ini dan seperti itu, sebagian pencinta keheningan malah bertanya balik: apa semuanya harus dimengerti? Ada juga yang bertanya ingin tahu, apa yang ditemukan dalam wilayah-wilayah persembahan seperti ini? Tidak banyak yang rela menggerakkan lidahnya untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan terakhir. Sebagian di antara yang sedikit itu bernama Eugen Herrigel. Dalam ''Zen in the Art of Archery'', ia menulis: le's stop talking and go onpracticing. Mari berhenti berdebat, lakukan latihan terus-menerus. Mengutip pendapat guru Takuan, Herrigel juga menulis: perfection in the art of swordsmanship is reached when the heart is troubled by no more thought of I and You - no more thought even of life and death. All is emptiness. Kesempurnaan, menurut Takuan, dicapai ketika hati tidak lagi diganggu oleh pikiran tentang saya dan Anda. Bahkan hidup mati pun sudah tidak dipikirkan lagi. Semuanya hanya hening, sepi.

Eugen Herrigel belajar Zen di Jepang. Takuan juga seorang guru pedang dari Jepang. Dan, kita di Bali tentu saja punya guru-guru yang tidak kalah mengagumkannya. Bedanya, sedikit dari karya-karya guru kita terdahulu yang ditulis serta disebarkan. Sastranya, sebagian bisa ditelusuri melalui nama-nama yang diberikan pada tempat-tempat suci yang berumur tua dan lama. Di sebuah kawasan di Kintamani, Bangli, di mana alam memberi tanda-tanda dalam bentuk sebelas gunung dan sebelas petirtan, sejumlah tetua Bali memberi nama salah satu tempat ibadah tua di sana dengan nama Pura Puseh Meneng seperti sedang berbisik: diam, tenang, hening, sepi. Lebih-lebih, jika dalam diam (meneng) seseorang sekaligus berjalan di wilayah-wilayah persembahan.

Di beberapa tempat sekaligus pegunungan yang ada pusat airnya, tetua Bali memberi nama Pura dengan Pura Mengening. Ini lebih jelas lagi, tidak ada yang lain kecuali: hening! Sebagian mantra upacara orang Bali mulai dengan kalimat bhur buah swah (alam bawah, tengah dan atas) sebagai sebuah tatanan kosmik yang menyatu rapi dalam diam dan hening. Bila ada sahabat yang berjalan perlahan dalam diam dan hening di wilayah-wilayah persembahan, sekaligus menyatu rapi dalam kosmik bhur buah swah, apa yang disebut wisatawan di awal tulisan ini dengan the hidden treasures of Bali, tidak lagi menjadi monopoli wisatawan. Ia juga menjadi kekayaan orang-orang yang lahir, tumbuh, besar, tua dan mati di Bali. Dan di sebuah waktu, ada yang menemukan Bali di dalam diri. Ia akan beruarai air mata, bukan karena sedih, melainkan karena sangat tersentuh oleh demikian baiknya Tuhan dan alam Bali. Ia kemudian hanya mengucapkan kalimat sederhana setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun: matur suksma! Yang dalam bahasa orang biasa diterjemahkan menjadi mengaturkan jiwa. Bahkan, jiwa ini pun ia gunakan sebagai persembahan di pulau yang arti bahasa Palinya adalah pulau persembahan. Adakah sahabat di Bali yang terbentuk hatinya untuk menemukan Bali di dalam diri?

Bali Kini dan Nanti

Dalam peta tatanan kosmik seperti ini, tidak terbayangkan apa terjadi di Bali bila wajah-wajah kekerasan muncul kembali. Siapa saja yang lahir di desa-desa Bali Mula (termasuk saya-penulis), masih menyaksikan sampai kini sisa-sisa masa lalu dalam bentuk makanan dan minuman orang Bali dulu dalam bentuk tuak, arak, dan komoh (darah segar dicampur bumbu). Bisa dibayangkan wajah kehidupan manusia dengan makanan dan minuman seperti ini. Sekarang, ketika beberapa daerah di Bali sempat rusuh oleh pemilu, sebuah istana raja tercecer darah manusia karena perkelahian, jaba Pura Besakih juga ditandai darah manusia tercecer, angka perkelahian dan gantung diri yang meningkat tajam, perebutan jabatan di sana-sini, akankah kita orang-orang Bali kembali ke pola hidup meminum dan memakan arak, tuak dan komoh? Sekali lagi, maafkanlah pertanyaan.


Oleh Gede Prama

0 comments:

Blogger template 'WhiteOrange' by Ourblogtemplates.com 2008