Wednesday, October 29, 2008

Hukum Itu Bernama Karma (goresan menjelang eksekusi)

Karma mungkin sudah menjadi hukum dasar yang berlaku di dunia ini. Apapun yang terjadi pada masa sekarang baik pada dunia maupun manusia itu sendiri merupakan konsekuensi masa lalu yang telah dibuat.
Karma sebenarnya merupakan ajaran universal tentang kehidupan, ajaran yang mengajarkan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan manusia tidaklah berdiri sendiri, ada serangkaian hasil yang akan mengikuti perbuatan itu serta hasil tersebut berbanding lurus dengan derajat perbuatan tersebut. Hal ini dapat dicontohkan ketika seorang memaki orang lain dengan sangat kasar maka dia akan menerima makian juga dengan 'derajat kekasaran' yang sama juga.

Karma bukanlah hukum balas dendam, bukan pula ajaran yang didominasi oleh agama tertentu saja, tetapi lebih berupa komponen penyeimbang kehidupan di dunia ini. Tuhan tidak menciptakan karma begitu saja, ada maksud tertentu dibalik penciptaan ini. Dengan karma diharapkan setiap manusia selalu melandaskan perbuatannya pada kebaikan dan kebenaran baik kepada manusia maupun lingkungan.

Ada banyak contoh yang menggambarkan terjadinya hukum ini, apa yang terjadi pada bumi dewasa ini mungkin tidak terlepas dari kerakusan manusia di masa lalu sampai sekarang, hukum ini dapat juga menjelaskan ketika ada seorang yang dulunya kaya namun tiba-tiba miskin, hukum ini dapat menjelaskan mengapa ada dua hal yang berlawanan di dunia ini (dalam kearifan tionghoa disebut yin dan yang) seperti kaya miskin, beruntung sial, cacat sempurna dll.

Karma mengajarkan apa yang kamu perbuat itulah yang akan kamu petik, kesalahan akan berbuah kesengsaraan dan kebenaran akan berbuah kebahagian, inilah hukum yang sejati, hukum yang kekal, hukum yang akan berlaku bagi siapa saja tanpa memandang agama, suku, dan status. Mereka yang hari ini tertawa dan bahagia atas apa yang mereka perbuatan keji di masa lalu akan menerima balasan perbuatannya, bukan dari hukum manusia tetapi dari hukum karma...

I Wayan Agus Eka

lanjutannya..

Monday, October 27, 2008

Nukilan Cerita Hidup dalam Penggalan Waktu




Anak Bali yang "mengadu nasib di jakarta". Lebih lanjut tentang gw klik di sini

lanjutannya..

Saturday, October 25, 2008

Pokok-Pokok Perubahan UU PPh


UU PPh baru saja disahkan dan diundangkan, saya telah mencoba membuat ringkasan mengenai beberapa pokok perubahannya
Banyak sekali perubahan mendasar dalam UU PPh ini, yang paling kelihatan mencolok adalah perubahan tarif, serta yang terpenting adalah upaya negara untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban wajib pajak dan petugas pajak
Pokok-pokok perubahan tersebut dapat didownload dalam format excel yang sudah saya buat di sini

I Wayan Agus Eka

lanjutannya..

Meditasi Bagi Pemula


Mungkin banyak orang yang salah kaprah dengan meditasi. Mereka bilang kalau meditasi hanya untuk orang-orang yang sudah tua, padahal semakin dini belajar meditasi tentu akan semakin baik. Pada kesempatan ini saya akan sharing bagi temen-temen yang ingin belajar meditasi
Sebelum memulai meditasi pastikan dulu beberapa hal seperti suasana ruangan yang diusahakan senyaman mungkin kemudian pakaian yang tidak terlalu ketat, kemudian suasana lingkungan harus dijaga karena kebisingan biasanya akan mengganggu konsentrasi.
Posisi meditasi adalah bersila, diusahakan telapak kaki kanan berada di atas paha kaki kiri dan sebaliknya, tetapi jangan dipaksakan karena dalam meditasi yang penting adalah kenyamanan, kalau memang belum bisa ya ambil posisi bersila yang paling nyaman bagi anda. Punggung tegak lurus dengan lantai, jangan terlalu membungkuk dan jangan terlalu membusung, tegak lurus. Kedua telapak tangan diletakkan di masing-masing lutut dengan posisi telapak menengadah ke atas.
Sekarang kita mulai dengan pengaturan nafas. Pertama tama mata dipejamkan perlahan-lahan, kemudian rasakan aliran udara melalui hidung masuk ke paru-paru kemudian keluar lagi melalui hidung. Setelah beberapa saat dan mulai merasa nyaman dan tenang lanjutkan dengan kegiatan inti dari pernafasan sbb:
1. Masukkan nafas melalui hidung kemudian tahan dengan menggunakan perut bagian bawah
2. Masih dalam posisi menahan nafas, kemudian lepaskan otot bagian perut dan rasakan seolah-olah nafas naik menuju dada.
3. Masih dalam posisi menahan nafas di dada kemudian alirkan nafas tersebut seolah-olah menuju kepala, kemudian tahan beberapa saat.
4. Setelah beberapa saat di kepala, kemudian keluarkan perlahan-lahan melalui hidung, dan kembali ke langkah pertama

Mungkin ada pertanyaan berapa lama kita menahan nafas di bawah perut, kemudian di dada dan di kepala? jawabannya adalah semampu kita, dan kembali ke prinsip awal meditasi bahwa jangan sampai memaksakan diri, kalau memang baru mampu cuman menahan masing-masing sedetik ya tidak ada masalah, yang penting tidak memaksakan diri.Kemudian kapan saatnya berhenti?kembali lagi jawabannya adalah semampu kita, karena kalo sudah merasa capek ya jangan dipaksakan, langsung berhenti dan bernafas normal lagi.Selamat Mencoba

I Wayan Agus Eka

lanjutannya..

Belajar Berdialog Dengan Diri Anda Sendiri


Anda boleh jadi piawai dalam berdialog, berdebat, mewawancarai para orang-orang penting, petinggi-petinggi pemerintahan, namun bilamana Anda tidak becus berdialog dengan diri Anda sendiri, semua itu tak akan ada gunanya bagi pengembangan batin Anda, bagi kehidupan spiritual Anda. Pengembangan batin, penekunan kehidupan spiritual adalah masalah berdialog dengan diri sendiri; bukan bicara sendiri seperti orang gila, melainkan berdialog dengan penuh kesadaran dengan "yang di dalam"
Berdialog dengan seseorang hanya dimungkinkan bilamana Anda memperhatikannya bukan? Bilamana Anda siap mendengarkannya bukan? Demikian pula dengan diri sendiri. Anda hanya mungkin membuka dialog dengan diri Anda sendiri bilamana Anda mau dan mampu memperhatikan dan mendengarkan yang di dalam, diri Anda sendiri. Anda tidak harus menjadi manut-manut saja padanya atau menuruti semua kehendaknya, melainkan cobalah perhatikan, amati dengan seksama, dengarkan dia dengan baik, dan —bilamana Anda pandang perlu— tanyai dia dengan kritis.

Anda tidak akan pernah mengenal seseorang dengan baik, tanpa sempat berdialog cukup intens dengan orang tersebut bukan? Nah....demikian pula Anda dengan diri
Anda sendiri. Dengan berdialog dengan diri Anda sendiri, Anda akan lebih mengenalnya, lebih mengakrabinya, lebih memahaminya.

Akan tetapi, semua itu tentu tiada dimungkinkan bilamana Anda terus berpegang-erat pada dan selalu digerakkan oleh kebiasaan Anda yang senantiasa mengarahkan perhatian ke luar sana. Kemampuan mengarahkan perhatian ke alam,
adalah modal dasar Anda disini. Ini merupakan jurus kuncinya. Kendati sebetulnya ruang di dalam itu tanpa kunci, bahkan tanpa pintu dan senantiasa terbuka-lebar bagi Anda. Namun pada fase-fase awalnya, dan karena kebiasaan Anda sendiri, Anda membutuhkan kunci untuk memasukinya. Dan kuncinya adalah, kemampuan untuk mengarahkan perhatian ke dalam. Sekali Anda punyai kunci itu, dan berhasil mengadakan kontak langsung dengan yang di dalam, Anda tak membutuhkan kunci itu lagi karena ia akan terbuka lebar-lebar bagi Anda.

Denpasar, 22 Januari 2003.
http://www.iloveblue.com

lanjutannya..

Menemukan Kembali Bali Di Dalam Diri


SETIAP kali terbang ke Bali, sebuah pemandangan yang sulit dihindari di pesawat adalah banyaknya penumpang dengan rambut berwarna coklat. Kerap terjadi, penumpang dengan rambut coklat lebih banyak dibandingkan dengan yang berwarna hitam. Tidak sedikit di antara mereka yang sudah datang ke Bali berkali-kali. Didorong rasa ingin tahu, ada yang bertanya kepada salah seorang wisatawan yang datang berulang-ulang. Dan, jawabannya agak mengejutkan, setiap kali dia datang ke Bali, seperti selalu menemukan the hidden treasures of Bali. Bagian-bagian kekayaan Bali yang tersembunyi, itulah yang kerap ditemukan wisatawan ini setiap kali datang dan datang lagi.
Dipancing oleh komentar seperti ini, kalau orang luar yang datang ke Bali, dan setiap kali datang menemukan bagian-bagian lain dari Bali yang tersembunyi, adakah kita yang lahir di Bali melihat Bali setiap hari, kemudian juga menemukan sisi-sisi lain kekayaan Bali yang tersembunyi? Ada seorang sahabat yang menemukan pengandaian berguna dalam hal ini. Mendalami kehidupan (baca: menyelami Bali) mirip dengan mengupas bawang merah. Semakin dikupas, makin putih warnanya. Tambah dikupas lebih putih lagi. Setelah dikupas semua, tidak ada yang tersisa terkecuali air mata yang meleleh. Pertanyaannya kemudian, banyakkah di antara orang Bali yang ''mengupas'' Bali, menemukan wajahnya yang semakin putih dari hari ke hari, dan pada akhirnya meneteskan air mata?

Ah, maafkanlah! Terutama karena belum apa-apa, tulisan ini sudah mengajukan sejumlah pertanyaan. Atau, mungkin tugas dan wewenang seorang manusia hanya boleh bertanya. Dan jawaban, di samping mudah tergelincir ke dalam kesombongan, kecongkakan dan malah perdebatan serta permusuhan, mudah sekali membuat perjalanan berhenti dihadang tembok besar dan kokoh. Disinari cahaya-cahaya kejernihan seperti ini, izinkanlah tulisan ini lewat sebentar. Bukan untuk memberi jawaban, tetapi lebih sebagai tumpukan arsitektur pertanyaan. Dengan sebuah doa, mudah-mudahan berguna dalam membuka the hidden treasures of Bali.

Pulau Persembahan

Dalam sebuah perjalanan, ketika sang hidup sudah mulai menunjukkan tanda-tanda makna, ada seorang sahabat pendeta Buddha yang bergumam kecil: ''Bali dalam bahasa Pali (bahasa teks asli agama Buddha) artinya persembahan''. Ada yang kaget di dalam sini. Terutama karena tidak ditanya, sahabat pendeta ini bertutur terus tanpa bisa dihentikan.

Lebih-lebih bila ini dikaitkan dengan salah satu pertanyaan gelap sejarah Bali: di mana letak kekuatan pembelokan dari sejarah Bali awal yang penuh dengan kekerasan, kemudian bergerak drastis menjadi Bali dengan perilaku santun, damai dan harmoni selama ratusan tahun kemudian? Kalau benar asumsi tentang sejarah sebagai sebuah kontinuitas, bukankah antara Bali awal yang ditandai kekerasan, dengan kesantunan hidup yang berumur ratusan tahun kemudian yang memproduksi harmoni, justru menunjukkan sebuah diskontinuitas? Bila diskontinuitas terjadi, apa peristiwa besar yang mendorong belokan diskontinuitas seperti ini?

Mungkin sahabat-sahabat yang mendalami lontar dan manuskrip tua Bali bisa membantu mengurai sebagian diskontinuitas ini. Karena sifat sejarah yang selalu memiliki wajah-wajah tersembunyi yang mudah dieksploitasi pikiran manusia, sejarah memang bukan gudang semua jawaban. Ia lebih menyerupai bahan-bahan yang memerlukan pengolahan lebih dalam kemudian. Merenung di atas kesadaran sejarah seperti inilah, maka layak dipikirkan bersama-sama sebuah pekerjaan rumah besar: apa peristiwa (atau kesadaran) besar yang membuat Bali berbelok dari kekerasan menuju harmoni?

Tanpa bermaksud memberi jawaban, siapa pun yang lahir dan besar di Bali matanya akan tertangkap oleh pemandangan keseharian yang tidak pernah mengenal henti: persembahan. Jangankan di tempat suci, di banyak sekali tempat yang lain orang Bali dari dulu sampai sekarang amat dan teramat rajin melakukan persembahan. Seorang sahabat pengusaha Bali yang kantornya penuh dengan canang sari setiap hari pernah bertutur, kalau dia mengalokasikan ratusan ribu rupiah per bulan hanya untuk tersedianya canang sari setiap hari. Ada peneliti Belanda yang pernah bertutur tentang Bali tahun 1920-an yang pernah dikunjunginya. Masih menurut peneliti ini, orang Bali ketika itu tidak mengenal istilah kesenian. Kesenian hanyalah sebuah judul yang datang dari luar. Lantas, kalau bukan kesenian, apa yang dilakukan orang-orang Bali ketika itu yang suka menari, menyanyi, mengukir, melukis dan sejenisnya? Dengan terkagum-kagum peneliti ini mendengar jawaban orang Bali ketika itu: tidak semua kami mengerti, namun satu hal jelas, semuanya dilakukan sebagai rangkaian persembahan.

Kesimpulan ini sekaligus mengingatkan kita semua tentang wilayah-wilayah persembahan. Canang sari tentu saja sebuah wujud persembahan, namun rupanya wilayah-wilayah persembahan jauh lebih lebar sekaligus lebih dalam dari sekadar canang sari.

Wilayah-wilayah Persembahan

Pemahaman dan pendalaman seseorang tentang sebuah wilayah, memang amat ditentukan oleh seberapa tekun serta seberapa sering yang bersangkutan datang memahami wilayah tersebut. Sebut saja seorang sahabat yang bertahun-tahun pekerjaannya hanya melihat dan mempelajari peta kota London. Tentu saja kedalaman pemahamannya berbeda dengan seseorang yang belum pernah melihat peta London, namun puluhan tahun sudah tinggal menetap di sana. Hal yang sama juga terjadi dalam wilayah-wilayah persembahan.

Dari umur yang amat kecil, kita di Bali sudah dibekali banyak ''peta'' tentang persembahan. Anak-anak bertanya tentang sesaji, tentang pura, tentang ngayah. Dan yang menjawab pun tidak sedikit: dari orangtua, keluarga dekat, guru-guru di sekolah sampai dengan media seperti koran dan televisi. Ada cerita tentang Jaya Prana dan Layon Sari yang sebagian hidupnya berisi persembahan. Ada kisah Mahabharata yang legendaris itu, yang juga berisi kisah persembahan. Dan, tentu saja masih ada lagi yang lain. Pendek kata, kehidupan Bali sejak dulu penuh dengan peta-peta tentang persembahan.

Mempelajari peta tentu saja baik dan berguna. Namun, hanya dengan memandanginya, manusia hanya memahami serangkaian wilayah secara amat terbatas. Berangkat, berjalan, lihat dan pahami, itulah langkah-langkah yang dilakukan oleh setiap manusia yang mau memahami serangkaian wilayah. Hal yang sama juga terjadi dengan wilayah-wilayah persembahan. Hanya yang melakoninya penuh kedalaman sekaligus keheningan yang bisa tergetar di wilayah-wilayah persembahan.

Sebagaimana wilayah lain dalam kehidupan, wilayah-wilayah persembahan juga ditandai oleh sejumlah keluhan. Tidak sedikit sahabat yang mengeluh mahal. Bahkan, ada segelintir orang yang berpikir pindah agama karena mahalnya ongkos menjadi orang Bali. Teritori pengetahuan manusia memang penuh dengan hukum sebab akibat. Hukum ini juga yang bertanya: jadi orang Bali dulu kemudian menyebut persembahannya mahal, atau persembahannya kurang dulu baru jadi orang Bali terasa menderita?

Bagi pencinta logika, kata-kata dan perdebatan silakan temukan sendiri jawabannya. Silakan juga selami jalan-jalan yang Anda temukan. Namun, bagi pencinta keheningan dan kejernihan, jawabannya memang bukan syarat mutlak dari dimulainya perjalanan. Kerap terjadi, penekun keheningan dan kejernihan aman serta nyaman berjalan bahkan tatkala tidak tahu. Melakukan persembahan, itu dan hanya itu. Sering tidak bernama, tidak bersuara, tidak ada tangan manusia yang mencatat. Namun, toh itu dilakukan terus-menerus.

Ada memang yang memberi sebutan dan judul bodoh akan hal ini. Tidak tahu, tidak mengerti, tidak paham, itulah rangkaian judul yang lain. Ketika ditanya, kenapa persembahannya seperti ini dan seperti itu, sebagian pencinta keheningan malah bertanya balik: apa semuanya harus dimengerti? Ada juga yang bertanya ingin tahu, apa yang ditemukan dalam wilayah-wilayah persembahan seperti ini? Tidak banyak yang rela menggerakkan lidahnya untuk memberi jawaban terhadap pertanyaan terakhir. Sebagian di antara yang sedikit itu bernama Eugen Herrigel. Dalam ''Zen in the Art of Archery'', ia menulis: le's stop talking and go onpracticing. Mari berhenti berdebat, lakukan latihan terus-menerus. Mengutip pendapat guru Takuan, Herrigel juga menulis: perfection in the art of swordsmanship is reached when the heart is troubled by no more thought of I and You - no more thought even of life and death. All is emptiness. Kesempurnaan, menurut Takuan, dicapai ketika hati tidak lagi diganggu oleh pikiran tentang saya dan Anda. Bahkan hidup mati pun sudah tidak dipikirkan lagi. Semuanya hanya hening, sepi.

Eugen Herrigel belajar Zen di Jepang. Takuan juga seorang guru pedang dari Jepang. Dan, kita di Bali tentu saja punya guru-guru yang tidak kalah mengagumkannya. Bedanya, sedikit dari karya-karya guru kita terdahulu yang ditulis serta disebarkan. Sastranya, sebagian bisa ditelusuri melalui nama-nama yang diberikan pada tempat-tempat suci yang berumur tua dan lama. Di sebuah kawasan di Kintamani, Bangli, di mana alam memberi tanda-tanda dalam bentuk sebelas gunung dan sebelas petirtan, sejumlah tetua Bali memberi nama salah satu tempat ibadah tua di sana dengan nama Pura Puseh Meneng seperti sedang berbisik: diam, tenang, hening, sepi. Lebih-lebih, jika dalam diam (meneng) seseorang sekaligus berjalan di wilayah-wilayah persembahan.

Di beberapa tempat sekaligus pegunungan yang ada pusat airnya, tetua Bali memberi nama Pura dengan Pura Mengening. Ini lebih jelas lagi, tidak ada yang lain kecuali: hening! Sebagian mantra upacara orang Bali mulai dengan kalimat bhur buah swah (alam bawah, tengah dan atas) sebagai sebuah tatanan kosmik yang menyatu rapi dalam diam dan hening. Bila ada sahabat yang berjalan perlahan dalam diam dan hening di wilayah-wilayah persembahan, sekaligus menyatu rapi dalam kosmik bhur buah swah, apa yang disebut wisatawan di awal tulisan ini dengan the hidden treasures of Bali, tidak lagi menjadi monopoli wisatawan. Ia juga menjadi kekayaan orang-orang yang lahir, tumbuh, besar, tua dan mati di Bali. Dan di sebuah waktu, ada yang menemukan Bali di dalam diri. Ia akan beruarai air mata, bukan karena sedih, melainkan karena sangat tersentuh oleh demikian baiknya Tuhan dan alam Bali. Ia kemudian hanya mengucapkan kalimat sederhana setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun: matur suksma! Yang dalam bahasa orang biasa diterjemahkan menjadi mengaturkan jiwa. Bahkan, jiwa ini pun ia gunakan sebagai persembahan di pulau yang arti bahasa Palinya adalah pulau persembahan. Adakah sahabat di Bali yang terbentuk hatinya untuk menemukan Bali di dalam diri?

Bali Kini dan Nanti

Dalam peta tatanan kosmik seperti ini, tidak terbayangkan apa terjadi di Bali bila wajah-wajah kekerasan muncul kembali. Siapa saja yang lahir di desa-desa Bali Mula (termasuk saya-penulis), masih menyaksikan sampai kini sisa-sisa masa lalu dalam bentuk makanan dan minuman orang Bali dulu dalam bentuk tuak, arak, dan komoh (darah segar dicampur bumbu). Bisa dibayangkan wajah kehidupan manusia dengan makanan dan minuman seperti ini. Sekarang, ketika beberapa daerah di Bali sempat rusuh oleh pemilu, sebuah istana raja tercecer darah manusia karena perkelahian, jaba Pura Besakih juga ditandai darah manusia tercecer, angka perkelahian dan gantung diri yang meningkat tajam, perebutan jabatan di sana-sini, akankah kita orang-orang Bali kembali ke pola hidup meminum dan memakan arak, tuak dan komoh? Sekali lagi, maafkanlah pertanyaan.


Oleh Gede Prama

lanjutannya..

Mensyukuri Neraka


Entah kapan dimulai, dan siapa yang memulainya tidaklah terlalu jelas. Yang jelas, ada banyak sekali manusia yang amat rindu akan surga dan amat takut sama neraka. Dari anak kecil sampai orang tua, dari orang desa sampai orang kota, kebanyakan rindu surga dan takut neraka.
Jujur harus diakui, sayapun pernah lama dilanda kerinduan dan ketakutan semacam itu. Cuman, setelah menelusuri lorong-lorong kehidupan dengan kedalaman kontemplasi tertentu, rupanya kita manusia sudah terlalu lama manja dengan buaian surga, dan dibuat takut oleh ancaman neraka. Untuk kemudian kehilangan dua kesempatan emas dalam hidup. Kesempatan emas pertama, manusia kehilangan kekuatan amat besar yang bernama keikhlasan. Kesempatan emas kedua, justru melalui tempaan-tempaan neraka yang ditakuti (baca : masalah) kemudian manusia jadi kuat dan hebat.

Konsepsi surga-neraka, sebagaimana kita tahu, memang memiliki banyak sekali manfaat. Cuman, sebagaimana wajah dualitas manapun, konsepsi surga-neraka membuat tidak sedikit manusia kemudian "berdagang" dengan kehidupan. Sebagai akibatnya, manusia kehilangan keikhlasan sebagai kekuatan kehidupan.

Ada cerita tentang sebuah desa yang tidak berhasil memotong pohon besar mengganggu. Karena berbagai peralatan tidak berhasil membuat pohon tumbang, dicurigai pohon ini ditunggui mahluk dengan kekuatan metafisik tertentu. Dicarilah orang "pintar" yang bisa membantu. Ternyata, ada orang berpenampilan sederhana yang bisa memotong pohon tadi dengan gergaji biasa. Orang terakhir hanya memotong pohon tadi dengan kalimat permulaan yang berbunyi : "dengan keikhlasan di depan Tuhan, tidak ada yang tidak bisa dilakukan".

Ternyata kinerja orang sederhana ini terdengar ke banyak tempat. Di samping karena kekaguman masyarakat, juga kerena hadiah besar yang telah diterimanya. Di desa seberang yang memiliki problema yang serupa kemudian memanggilnya. Dan setelah memotong pohon dengan teknik dan alat yang sama, ternyata berkali-kali hanya berujung kegagalan. Ada yang berubah, katanya setelah berulang kali gagal, hadiah rupanya melenyapkan keikhlasan!

Ini memang hanya sebuah cerita, namun layak direnungkan kalau keikhlasan bukanlah sumber kelemahan. Ia sejenis tenaga dalam yang bisa membuat manusia jadi demikian perkasa. Terinspirasi dari banyak cerita-cerita sufi, demikian juga dari puisi-puisi Gibran dan Rumi, serta kualitas pemimpin-pemimpin yang masih berkuasa ketika badannya sudah disebut meninggal oleh dokter, keikhlasan sudah menjadi tema kehidupan yang kuat sejak dulu.


Kesempatan emas kedua yang dibuat lenyap oleh konsepsi surga-neraka, adalah kekuatan-kekuatan yang bisa dihadirkan oleh keseharian yang penuh dengan "neraka". Masalah, godaan, tantangan, persoalan adalah rangkaian hal yang ditakuti banyak manusia sebagaimana mereka menakuti neraka. Semakin sedikit wajah neraka seperti ini yang hadir, semakin baik bagi para pengagum surga.

Ternyata kehidupan bertutur dan bercerita lain. Sebagaimana pernah dituturkan secara apik oleh M. Scott Peck dalam The Road Less Travelled, mereka-mereka yang menakuti neraka ternyata tumbuh jadi manusia lemah dan lembek. Sebagian bahkan terkena penyakit kejiwaan yang menyedihkan. Di bagian awal buku inspiratif ini Scott Peck menulis : ?This tendency to avoid problems and emotional suffering inherent in them is the primary basis of all human mental illness?. Kecenderungan untuk lari dari masalah dan penderitaan adalah fundamen utama dari kondisi mental yang tidak terlalu sehat.

Bercermin dari sini, neraka tidaklah seburuk bayangan banyak orang. Dalam lapisan-lapisan kejernihan yang lebih dalam, neraka adalah tempat pemurnian. Sebuah tempat di mana sampah-sampah kehidupan diolah menjadi pupuk-pupuk berguna. Sebutlah masalah keseharian seperti dimarahin atasan. Sesaat memang membuat yang bersangkutan kesal, tetapi kemarahan atasan sedang membuatnya jadi kuat. Atau memiliki isteri yang cerewetnya minta ampun, ia memang sengaja hadir untuk membuat sang suami jadi sabar. Demikian juga dengan masalah lain.

Yang jelas, lari dari persoalan memang enak sebentar, tetapi ia membawa dampak jangka panjang yang negatif. Meminjam argumen Scott Peck dalam karya di atas, kesukaan untuk lari dari masalah dan tanggung jawab adalah ciri utama dari manusia-manusia yang terkena penyakit character disorder. Lebih dari sekadar terkena penyakit kejiwaan tadi, tantangan dan masalah sebenarnya serupa dengan tangga-tangga kedewasaan dan kematangan. Semakin tinggi dan besar masalahnya, itu berarti kaki sang hidup sedang melangkah di tempat yang juga tinggi.

Surga (baca : kebahagiaan) memang udara kehidupan yang indah dan segar, tetapi ia terasa jauh lebih indah dan segar jika seseorang pernah melalui tangga-tangga neraka. Serupa dengan lingkaran Yin-Yang yang di belah dua, awalnya memang ada beda jelas dan tegas antara surga dan neraka. Surga itu berisi senyuman, neraka berisi tangisan. Namun, di tingkatan-tingkatan kejernihan, sekat dan pemisah tadi sudah tidak ada. Suka-duka, tangisan-senyuman, sukses-gagal hanyalah aliran kehidupan yang datang dengan peran masing-masing. Persis seperti siang yang berganti malam dan juga sebaliknya, setiap pergantian berjalan tenang dan tenteram. Dan jangan lupa, kualitas hidup di dalam diri seperti ini hanya bisa dicapai oleh manusia yang mendalami hakekat syukur akan adanya neraka.
Gede Prama

lanjutannya..

Thursday, October 23, 2008

Dimanakah Kesabaran Itu

Mungkin tulisan ini merupakan bentuk protes gw atas apa yang gw liat terakhir ini. Seseorang atau sekelompok orang yang mengaku dirinya tahu agama dan paham akan ajaranNya tetapi melakukan hal yang sangat tidak pantas di mata kita semua.
Mereka seenaknya marah-marah ama petugas yang hanya mau menjalankan tugasnya. Tapi aneh bin ajaibnya, kok sampe keluar kata-kata kasar yang tidak pantas keluar dari mulut seorang yang mengaku dirinya keturunan Pembawa Wahyu. Kejadian ini bukanlah yang pertama kali, tapi kali ini kayaknya gw udah gregetan banget ama ini orang. Awalnya gw salut dengan perjuangannya, tapi kok lama kelamaan jadi di luar batas.
Apakah ini hasil dari pemahaman dia tentang agama??Apakah ini hasil dari sembahyang tiap hari??apakah gunanya dia berpuasa untuk menahan nafsu kalau amarah saja tidak bisa dikendalikan?????
Seandainya gw bisa ngobrol ama dia, gw bakal bilang kalo iman seseorang bukan diukur dari seberapa sering dia sembahyang, seberapa putih jubahnya, seberapa sering dia puasa tetapi SEBERAPA MAMPU DIA MENGALAHKAN DIRINYA SENDIRI (baca:marah, dengki, nafsu sex, iri, rakus, mabuk), karena musuh kita adalah kita sendiri, dan itulah iman sesungguhnya

lanjutannya..

Wednesday, October 22, 2008

Media dan Perdamaian


Bali kini kembali menjadi tuan rumah salah satu hajatan internasional bertajuk Bali Global Forum. Hajatan internasional selama 3 hari ini bertema “The Power of Peace: Using the Tools of Information and Communication”, tema yang mengangkat betapa besarnya media sebagai salah satu “tool” untuk mewujudkan perdamaian di dunia ini.
Bali kembali dipilih menjadi tuan rumah untuk gelaran berkelas dunia tentunya bukan tanpa alasan, apalagi apabila dihubungkan dengan semangat perdamaian sebagaimana diusung dalam tema tersebut. Bali dikenal dunia karena sikap toleransi warganya yang sangat luar biasa. Tentu kita masih ingat saat Bali diguncang 2 bom besar, masyarakat Bali tentunya mengutuk itu semua, tapi itu tentunya dilakukan dengan cara yang wajar dan tanpa kekerasan (ahimsa). Sempat tersiar kabar bahwa akan terjadi peristiwa SARA terhadap pihak tertentu berkaitan dengan teror bom tadi, tapi masyarakat Bali dengan arif bijaksana menerima semua itu sebagai sebuah kenyataan yang harus diahadapi bersama. Cara-cara kekerasan dianggap hanya meruncing hubungan yang selama ini sudah kritis, lagipula masyarakat Bali sangat kental kehidupan religiusnya khususnya dengan konsep Karmapalanya. Mereka percaya bahwa semua peristiwa pasti akan membawa akibat sesuai dengan benih yang mereka tanam.
“Pena wartawan lebih tajam dari bayonet serdadu” begitulah analogi yang diucapkan oleh wakil presiden kita, Jusuf Kalla, saat membuka forum ini. Sebuah analogi yang menunjukkan bahwa media merupakan bahasa publik yang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sikap publik pada umumnya. Media massa dapat menggiring sikap publik terhadap satu masalah, sehingga perannya sangat strategis terutama untuk mewujudkan misi perdamaian seperti yang diusung dalam forum ini.
Media dahulu lebih sering diidentikkan oleh corong kekuasaan, media sangatlah dekat dengan lingkaran kekuasaan, sehingga media sering dijadikan alat propaganda sebagian pihak untuk melebarkan doktrinnya ataupun untuk melakukan penyerangan kepada pihak lain dalam bentuk tulisan maupun bentuk yang lainnya

Media vs konlik
Dua kata ini merupakan kata-kata yang saling berhubungan satu sama lainnya. Media sering menjadi penyebab timbulnya konflik dan sebaliknya dalam konflik pihak-pihak yang bertikai sering juga menjadikan media sebagai salah satu sarana untuk menjatuhkan lawan-lawannya.
Ada dua hal yang merupakan faktor penting mengapa kita harus memiliki perhatian yang lebih terhadap hal ini. Pertama, kondisi Negara ini yang merupakan rawan terhadap segala macam konflik yang mungkin terjadi, baik horizontal maupun vertikal. Negara kita terdiri dari berbagai macam agama dan suku bangsa, belum lagi budaya yang berbeda-beda yang otomatis dapat menjadi sumber konflik ketika kita tidak dapat mengelolanya dalam bentuk sikap toleransi antar sesama. Banyak contoh konflik yang sudah meledak dikarenakan hal-hal seperti tadi, ambon, sampit, merupakan salah satu contoh kegagalan kita mengelola perbedaan ini.
Faktor yang kedua adalah wacana kebebasan pers yang diusung semangat reformasi dewasa ini. Reformasi memberikan efek yang luar biasa khususnya dalam kehidupan pers di Indonesia. Pers yang dulu identik dengan perpanjangan lidah penguasa sudah berubah menjadi pers yang diharapkan independent dan menjadi corong lidah rakyat dalam menyuarakan aspirasinya. Dalam perjalanannya, reformasi menjadi hal yang tidak diidamkan sebagaimana waktu meluncurnya dahulu. Seperti itu pula nasib media dewasa ini. Media terkadang masih menjadi alat politik dan propaganda yang merupakan senjata ampuh untuk membelokkan pendapat masyarakat dan sebagai alat pengumpul pundi suara bagi golongan tertentu. Kebebasan yang diberikan kepada media seringkali pula menjadi kebebasan yang keblablasan. Terkadang dengan dalih kebebasan pers media dengan seenaknya menyuarakan hal-hal tanpa memandang batas-batas aturan yang ada, sebagai akibatnya kasus penghinaan, fitnah menjadi sesuatu yang sangat tipis dikarenakan berbenturan dengan semangat kebabasan pers tadi.

Komunikasi berbasiskan Masyarakat
Dalam masyarakat yang mempunyai faktor resiko tinggi terjadinya konflik, media mempunyai peran untuk selalu menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada menuju suatu keharmonisan. Berita-berita yang bersifat netral sangat diperlukan, agar jangan sampai perbedaan itu justru memperuncing konflik. Media harus selalu menjunjung tinggi idealismenya supaya jangan menjadi corong kekuasaan suatu pihak dan selalu bersifat berat sebelah.
Peran media tidak hanya dalam bentuk pencegahan saja, tapi juga dalam bentuk “post conflict”. Apabila konflik sudah berakhir, media harus memposisikan diri sebagai corong perdamaian, dengan selalu memeliharanya melalui tulisan-tulisan, serta informasi yang akurat. Peran media paska konflik tidak kalah pentingnya daripada sebelum konflik. Pasca konflik merupakan tahap-tahap yang sangat kritikal. Dikatakan demikian karena konflik masih sangat mungkin terjadi, ibarat api, dalam tahap ini masih ada bara yang belum padam, sedikit pemicu bisa menyebabkan bara berubah menjadi api yang bukan tidak mungkin lebih besar dari sebelumnya. Berpijak dari hal inilah, media mempunyai peranan yang sangat penting dalam penanganan pasca konflik. Media sedapat mungkin harus mendukung proses rekonsiliasi yang terjadi.

Forum ini harus kita dukung, supaya bisa menghasilkan kata sepakat bagi perkembangan media di seluruh dunia, bahwa kaum media juga bisa menjadi penentu dalam proses perdamaian. Para wartawan melalui penanya pada hakekatnya mempunyai senjata yang dapat mempengaruhi persepsi publik, senjata ini sangat penting dalam misi membawa perdamaian di muka bumi ini. Pada akhirnya ada misi lain dalam forum ini, bahwa Bali semakin diakui keberadaanya sebagai suatu masyarakat yang mampu mengelola perbedaan dan mampu mengembangakan toleransi yang begitu besar sehingga mampu mengelola konflik yang ada sehingga tidak berubah menjadi sesuatu yang anarki. Semoga forum ini menjadi tonggak bagi Indonesia khususnya dan dunia umumnya bahwa perdamaian adalah impian yang harus diwujudkan tidak hanya dalam bentuk tulisan dan wacana saja.

I Wayan Agus Eka

lanjutannya..

UU PPh dalam Pencapaian MDGs


Selama beberapa tahun belakangan ini masalah sosial dan lingkungan menjadi isu penting dalam perkembangan dunia usaha, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Dimulai dengan adanya pertemuan dunia di Brazil pada tahun 1992 yang disebut “Earth Summit” menjadi salah satu tonggak pencanangan gerakan “sustainable development” yang mengarahkan penggunaan sumber daya alam kearah yang berkesinambungan dan memandang bahwa isu lingkungan merupakan isu global dan harus menjadi perhatian bersama. Perkembangan ini berlanjut tidak hanya pada isu lingkungan semata tetapi juga telah menjadi isu global ditandai dengan dideklarasikannya “United Nation Millenium Development” melalui pertemuan para Kepala Negara dan pemerintahan menjelang berakhirnya millennium pada 6-8 September 2000 di New York. Deklarasi ini menghasilkan apa yang dimaksud dengan “Millennium Development Goals” yang berisi 8 tujuan pembangunan dengan target pencapaian pada tahun 2015 antara lain sbb;
1. Menghapuskan kemiskinan dan kelaparan
2. Mencapai pendidikan dasar secara universal
3. Peningkatan kesetaraan gender dan peranan perempuan
4. Mengurangi angka kematian anak
5. Peningkatan kesehatan ibu
6. Memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya
7. Menjamin keberlangsungan lingkungan hidup
8. Pengembangan kerjasama global untuk pembangunan.
Target pencapaian tersebut memang terkesan sangat ambisius dan berani, akan tetapi diperlukan komitmen dalam pembentukan pandangan global dan pemahaman bersama mengenai isu kritis yang memang sedang dihadapi dunia ini.
Isu sosial termasuk lingkungan telah mengalami transformasi dari sekadar isu pelengkap menjadi isu pokok yang mempengaruhi keberlangsungan umat manusia. Dalam perkembangannya, isu sosial dan lingkungan sebagaimana disebutkan dalam deklarasi di atas juga telah membawa perubahan paradigma dalam dunia bisnis. Keberlangsungan suatu bisnis pada masa sekarang diyakini bukan hanya berasal dari profit atau laba semata tetapi juga dari segi penerapan apa yang disebut “business sustainability”. Perhatian terhadap permasalahan sosial dipandang pelaku bisnis sebagai bagian dalam mencapai “sustainability” tersebut yang dalam perkembangan selanjutnya dikenal dengan nama “corporate social responsibility”

Tax dan MDGs
Delapan isu tersebut di atas diharapkan menjadi kerangka bagi seluruh pemerintahan di dunia ini dalam menetapkan suatu kebijakan demi pencapaian target pada tahun 2015. Kebijakan pemerintah seharusnya dapat menggiring pencapaian dan menjadi pegangan sehingga tujuan tersebut dapat tercapai. Pemerintah mempunyai peranan sebagai pembuat kebijakan publik untuk menciptakan kondisi dan menciptakan pola menuju tercapainya tujuan tersebut.
Pajak merupakan salah satu bidang kebijakan publik yang dapat Pemerintah gunakan sebagai alat pencapaian MDGs tersebut. Pajak bukan hanya berfungsi sebagai instrumen penerimaan negara tetapi juga sebagai instrument pengatur (regulerent). R. Santoso Brotodihardjo, S.H. dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak mengatakan bahwa dalam fungsi mengaturnya, pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak ditujukan terhadap sektor swasta.
UU PPh ini merupakan perubahan keempat atas UU No 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Menarik untuk disimak bahwa UU PPh ini mengandung perubahan yang cukup signifikan baik yang berkaitan dengan dinamisasi dunia usaha maupun peningkatan prinsip keadilan bagi Wajib Pajak. Perubahan ini didasari bukan hanya untuk memperbaiki tingkat pelayanan, tetapi lebih dari itu yaitu untuk menegaskan keberpihakan pemerintah kepada seluruh stakeholder akan komitmen Pemerintah yang sungguh-sungguh dalam mencapai tujuan pembangunan millennium khususnya dengan menggunakan kebijakan di bidang perpajakan. Berikut akan disampaikan beberapa pokok perubahan yang mendukung tercapainya tujuan tersebut.

Perubahan Tarif
Semula kita ketahui bahwa tarif untuk PPh Badan maksimal sebesar 30% untuk lapisan penghasilan paling atas, maka hal ini akan berganti menjadi tarif tunggal sebesar 28% dan akan turun menjadi 25% pada tahun 2010 selain itu untuk perusahaan publik dengan komposisi saham minimal sebesar 40% dimiliki oleh masyarakat dan syarat lainnya, tarif pajaknya akan mendapatkan pengurangan sebanyak 5% dari tarif semula.
Pajak selama ini dipandang sebagai salah satu penghambat dunia usaha. Kebijakan pajak yang progresif membawa konsekuensi perlambatan pertumbuhan dunia usaha yang pada gilirannya nanti akan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Peraturan Presiden No 7 Tahun 2005 tentang “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional” menjelaskan bahwa :
Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia relatif tertinggal dalam menyusun alternatif-alternatif investasi, termasuk insentif perpajakan, dalam menarik penanaman modal di Indonesia. Meskipun dengan tingkat pajak progresif yang diperkirakan sama dengan negara-negara lain, sistem perpajakan di Indonesia kurang memberi kelonggaran-kelonggaran perpajakan dalam upaya mendorong investasi.
Penerapan tarif tunggal ini sudah barang tentu menguntungkan industri dengan skala besar tetapi tidak untuk industri kecil yang notabene menjadi urat nadi perekonomian negara ini. Menurut data, pada tahun 2006 jumlah usaha kecil dan menengah di Indonesia mencapai 48,9 juta unit dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 85,4 juta orang dengan daya serap investasi mencapai 47% dari total investasi. Menyadari pentingnya unit ini maka pemerintah melalui UU ini memberikan fasilitas pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal untuk peredaran bruto sampai dengan 4,8 milyar. Pemberian fasilitas ini, ditambah dengan program pemerintah lainnya seperti KUR (kredit usaha rakyat) yang memberikan fasilitas kredit dengan jaminan pemerintah, diharapkan menumbuhkan sektor ini di masa depan tentunya dengan harapan perluasan lapangan kerja dan pembangunan ekonomi kreatif yang menjadi landasan untuk dapat bersaing di pasar global dengan dukungan regulasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat UKM.
Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi tarif tertinggi PPh yang selama ini sebesar 35% akan diturunkan menjadi 30% dengan perluasan lapisan penghasilan yang selama ini 200 juta menjadi 500 juta rupiah. Selain itu PTKP dinaikkan menjadi Rp 15,84 juta setahun dengan memperhatikan tingkat inflasi.
Dalam siaran persnya DJP sebagai otoritas yang menangani masalah perpajakan menyatakan sebagai berikut:
Penurunan tarif ini diharapkan akan meningkatkan daya saing negara kita untuk menarik minat investasi baik dari luar negeri maupun dalam negeri. Peningkatan investasi tersebut diharapkan dapat memperluas sumbangsih terhadap perekonomian nasional, termasuk memperluas lapangan kerja. Sedangkan penurunan tarif PPh OP serta perluasan rentang penghasilan kena pajak tentunya akan berdampak positif kepada WP OP yaitu bertambahnya daya beli serta memudahan perhitungan:
Perluasan lapangan kerja merupakan salah satu syarat dalam memberantas kemiskinan di negeri ini. Lapangan kerja hanya akan tercipta apabila iklim investasi kondusif dan dipayungi oleh regulasi-regulasi yang tidak hanya bagus di atas kertas saja tetapi juga mumpuni dalam penerapannya di lapangan (law enforcement). Kemiskinan merupakan akar dari berbagai permasalahan sosial di masyarakat, dan tidak ada jalan lain untuk memberantasnya kecuali dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mendorong tercipta lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya.
Dalam dokumen “United Nation Millenium Development” dijelaskan sebagai berikut
“we will spare no effort to free our fellow men, women and children from the abject and dehumanizing condition of extreme poverty, to which more than a billion of the are currently subjected. We are commited to making the right to development a reality to everyone and to freeing the entire human race from want”
Lebih lanjut dokumen tersebut menjelaskan sbb
“we resolve therefore to create an environment-at national and global level alike-which is condusive to development and to the elimination of poverty”
Penurunan tarif pajak ini merupakan langkah penciptaan lingkungan secara nasional melalui instrumen kebijakan publik untuk menciptakan suasana kondusif bagi dunia usaha yang pada gilirannya dapat menghapus kemiskinan.

Aspek Sosial
Dalam UU PPh hasil amandemen ini biaya-biaya seperti sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional, sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia, biaya pembangunan infrastruktur sosial, sumbangan fasilitas pendidikan dan sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dapat dikurangkan dari penghasilan. Selain itu sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan, yang ditanamkan kembali paling lama dalam jangka waktu 4 tahun dikecualikan sebagai objek pajak.
Perubahan ini merupakan jawaban dari keinginan semua pihak khususnya dunia usaha yang melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) agar biaya yang terkait dengannya dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan. Sebelumnya hanya ada beberapa aturan pajak yang secara spesifik mengatur mengenai CSR ini. Aturan mengenai CSR dapat dilihat dalam Kep Dirjen Pajak No KEP-213/PJ./2001 tanggal 15 maret 2001 yang mengatur bahwa untuk pembangunan fasilitas-fasilitas (tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan olahraga) di tempat-tempat tertentu (remote area) dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Sedangkan bantuan kemanusiaan dalam rangka tsunami di NAD dan pesisir selatan Jawa serta gempa Jogja dapat dibiayakan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No 609/PMK.03/2004 tanggal 28 Desember 2004 serta No 93/PMK.03/2006 tanggal 13 Oktober 2006
Dengan adanya perubahan dalam UU PPh maka diharapkan terjadi perluasan aspek CSR tidak hanya terbatas pada ketentuan-ketentuan di atas sehingga dapat mendorong dunia usaha untuk lebih berperan aktif bersama-sama dengan pemerintah dalam mengatasi masalah sosial khususnya dalam bidang kesehatan, pendidikan, dan bencana alam. Hal ini selaras dengan apa yang terdapat dalam dokumen “United Nation Millenium Development” sbb:
“to ensure that, by the same date, children everywhere, boys and girls alike, will be able to complete a full course of primary schooling and that girls and boys will have equal access to all level of education.”
“by 2020, to have achieved a significant improvement in the lives of at least 100 million slum dwellers as proposed in the “cities without slums” initiative”
Mengenai keterlibatan pihak swasta dan masyarakat, MDGs menyatakan sbb:
“to develop strong partnerships with the private sector and with civil society organizations in pursuit development and poverty eradication”

Kesimpulan
Mengutip pernyataan Neil A. Armstrong ketika mendaratkan kakinya di bulan, "That's one small step for (a) man, one giant leap for mankind." maka UU PPh yang baru disahkan mungkin hanya sebuah langkah kecil dalam mewujudkan kedelapan tujuan pembangunan millennium, tetapi langkah ini akan menjadi suatu lompatan apabila seluruh stakeholder di negara ini mempunyai komitmen yang kuat untuk mewujudkannya. Kebijakan fiskal saja tidak akan dapat memenuhi tujuan ini, diperlukan perangkat kebijakan lainnya yang selaras dan berkesinambungan yang mendorong tercapainya tujuan mulia ini. MDGs sendiri hanyalah dokumen berupa kertas saja, keberhasilan pencapaiannya sangat tergantung dari usaha masing-masing negara sebagaimana dijelaskan dalam dokumennya
“success in meeting these objective depends, inter alia, on good governance within each country. It also depends on good governance at the international level and on transparency in the financial, monetary and trading systems. We are committed to an open, equitable, rule-based, predictable and non discriminatory multilateral trading and financial system.
I Wayan Agus Eka

lanjutannya..

Blogger template 'WhiteOrange' by Ourblogtemplates.com 2008